married with no children? why not?

Satu dasawarsa sudah kami lalui tanpa anak. Tidak seperti yang orang lain kira, kami tidak pernah meributkan soal anak. Kami sangat bahagia hidup berdua. Jarang cekcok, tiap hari selalu berbagi cerita yang berujung pada tawa. Tiap minggu kami berwisata boga di pelosok Jakarta sambil berangkulan dan bergandengan tangan. Rasanya seperti orang pacaran saja. Dan kami sangat mensyukurinya. Kami tak pernah menyalahkan Tuhan atau menuduh salah satu tidak subur. Mungkin Tuhan tahu orang seperti kami yang tidak suka anak kecil bahkan menganggap mereka sebagai beban hidup tak pantas menjadi orang-tua.

Anak bagi kami seperti bunga mawar, indah dipandang tapi sulit untuk memeliharanya. Selain itu menurut kami, anak adalah investasi yang beresiko sangat tinggi dan menuntut kesabaran tingkat tinggi yang tidak kami berdua miliki. Kami paling tidak tahan melihat anak kecil meraung-raung hingga bergulingan di lantai mal karena tak dibelikan mainan. Mendengar percakapan orang tentang mahalnya uang sekolah membuat kami semakin mantap dengan niat kami untuk terus mengisi sisa hidup dengan berdua saja. Apalagi melihat berita tentang rusaknya pergaulan anak sekarang. Kami tak siap bila harus menghadapi anak yang sudah diasuh dan dididik dengan susah-payah dengan harapan agar menjadi anak yang berguna, ternyata hanya menjadi parasit yang menggerogoti hati.

Dan kami tidak ingin memaksakan diri dengan memiliki satu anak saja hanya karena ingin dibilang lelaki sejati atau perempuan sempurna. Dangkal sekali pemikiran seperti itu, kesejatian lelaki atau kesempurnaan perempuan tidak diukur dari berhasil tidaknya menghasilkan keturunan. Kalau begitu apa bedanya dengan kucing? Manusia baru bisa digelari sehebat dan semulia itu kalau sudah berhasil mendidik anak2 mereka menjadi anak yang berbudi dan berbakti pada Tuhan, orang-tua dan sesama.

Namun kami masih tak berani juga terang2an memproklamirkan keinginan kami. Semua orang pasti akan menghujat kami, mengatai kami egois, menuduh kami murtad dsb. Ada pula yang mempertanyakan siapa yang akan merawat kami di saat tua nanti. Buat kami, anak bukanlah babysitter meski kami dengan sukarela dan penuh cinta bertekat merawat kedua orang-tua kami sampai kapan pun. Kami juga sadar kalau orang-tua kami berpandangan seperti kami maka kami tidak akan pernah hadir di dunia ini, tapi inilah yang terbaik menurut kami.

Susahnya orang-tua kami sangat mendambakan cucu dari kami. Tapi apakah kami harus mengorbankan kebahagiaan kami demi orang-tua sekalipun? Kami anak baik, belajar dan bekerja sebaik mungkin. Kami tak pernah menyusahkan orang-tua dengan membebani mereka dengan hutang berjibun atau mengasari mereka dengan kata-kata pedas. Atau merusak reputasi mereka dengan terlibat masalah tak senonoh. Apa kami salah bila kami ingin bahagia dengan cara sendiri?

Tujuan kami menikah adalah ingin berbagi rasa dan saling menemani untuk selamanya, bukan untuk memproduksi keturunan. Sampai kini kami masih bertahan dan saling menyabarkan bila basa-basi yang paling basi menggempur: `Kapan kalian punya anak?`. Ingin sekali aku berujar Tuhan memberi kita akal budi supaya kita bisa memilih antara yang baik dan yang jelek, antara benar dan salah. Hidup itu penuh pilihan. Nah, apakah pilihan kami itu jelek dan salah, itu sudah keputusan kami.

Bukankah kebahagiaan yang paling penting dalam hidup?