“Igan? Ini kau kan? Jangan diam saja. Gan?”
Sederet pertanyaan itu membuatku terlonjak kaget. Apa kedatanganku sudah menimbulkan kegaduhan hingga membuat sang pemilik suara halus itu terusik? Dan jantungku nyaris copot setelah menoleh ke arah sumber suara. Di sana, di puncak bentangan anak tangga yang bersusun-susun, istriku duduk dengan anggun bak seorang ratu dengan kursi roda sebagai singgasananya.
“Aduh, Sayang! Sudah berapa kali kubilang jangan menungguku di situ!” seruku sembari menghambur mendekat.
Kulompati dua anak tangga sekaligus dan dalam sekejap aku sudah berada di hadapannya. Kutarik kursi rodanya menjauh dari tangga.
“Kalau kau sampai jatuh, bagaimana?” tanyaku setengah mengomel setelah mengecup dahinya dengan lembut.
“Kau selalu bilang begitu. Aku tidak akan jatuh, Gan. Percaya deh.”